Pengakuan Suami: “Jangan Salahkan Istri Karena Rumah yang Selalu Tampak Berantakan”

Memiliki anak-anak yang sehat dan aktif memang anugrah yang tak terkira. Namun, sebagai orangtua, kita juga akan mengerti konsekuensi berupa rumah yang selalu tampak berantakan.

Sayangnya, banyak orang tidak mengerti jika menjaga rumah agar selalu rapi itu memang tidak mudah. Akhirnya, istri seringkali jadi satu-satunya pihak yang dipojokkan atas kerapihan dan kebersihan rumah.

Clint Edwards pernah menjadi suami yang selalu menyalahkan istri jika atas rumah yang selalu tampak berantakan. Bahkan, ia pernah bertengkar dengan istri tentang hal itu.

Kini, ia justru meyakini bahwa istri yang menjadi ibu rumah tangga sama sekali tak bisa disalahkan atas rumah yang selalu tampak berantakan. Inilah pengakuan yang ditulisnya lewat blog:

Aku sedang membangun rak di garasi ketika seorang gadis tetangganya, -salah satu teman anak perempuanku yang berusia 4 tahun- mendekatiku dan berkata, “Aku baru lihat rumahmu tadi. Rumahmu cukup kotor. Mama Norah perlu lebih raijn membersihkannya.”

“Beberapa orang akan merasa komentar seperti itu kasar,” sahutku.

Gadis kecil menatapku dengan senyum jahil dan berkata, “yup!”

Hal yang benar-benar menyebalkan tentang yang dikatakan oleh anak umur 5 tahun itu adalah fakta bahwa mereka 100% jujur. Dan kenyataannya, kami memang memiliki rumah yang selalu tampak berantakan.

Saat ini, aku bisa merinci sejuta alasan sebagai pembenaran atas berantakannya rumah kami. Misalnya, Pakaian dalam di mana-mana, keranjang pakaian bersih di ruang tengah rumah kami, dan sebagainya.

Selalu saja ada karet gelang, boneka, peralatan play dough,dan tumpukan piring kotor di atas meja.,

Anak-anak sering nongkrong di ruang tamu, atau di teras, makan di mana saja, dan sering mengeluarkan mainan tanpa pernah merapikannya kembali.

Kami juga baru saja punya bayi dan barangkali itu adalah alasan terbaik dan terbesar mengapa kami memiliki rumah yang selalu tampak berantakan

Namun, sebenarnya tak ada alasan apapun yang memang pantas dijadikan sebagai pembenaran atas betapa berantakannya rumah kami.

Selalu ada orang-orang yang rumahnya lebih berantakan dari rumah kami. Aku pernah bertemu dengan mereka.

Ketika aku masih muda dulu, aku akan pergi ke rumah berantakan tersebut. Kemudian aku akan mengatakan hal buruk seperti, “Kok rumahmu kotor sekali sih?”

Setelah aku sampai di rumahku, aku akan menceritakan tentang betapa berantakannya rumah mereka kepada ibuku. Ibuku akan menanggapinya dengan mengatakan hal seperti, “memang istrinya tak peduli tentang anak-anak maupun rumahnya ya?”

Dalam hal rumah berantakan, orang cenderung akan menyalahkan peran seorang ibu.

Meskipun kita sudah hidup di era kesetaraan dan kerja sama antar suami istri, tetap saja ayah rumah tangga dianggap sebagai kondisi yang tidak biasa (Aku pernah mengalaminya walau hanya dalam waktu singkat).

Tak peduli apapun dinamika yang terjadi di dalam rumah tangga kami, tetap saja orang-orang akan menyalahkan istriku atas rumah yang selalu tampak berantakan.

Aku bisa mengetahui hal ini karena dulunya, aku juga sering menyalahkan istriku atas rumah berantakan kami.

Tak lama setelah ia menjadi seorang ibu yang tinggal di rumah, aku mulai benar-benar menghakimi. Aku mulai melihat keadaan rumah dan berpikir, “Mengerjakan hal seperti itu saja tak becus. Dasar tak becus mengurus rumah!”

Aku tak mempertimbangkan fakta bahwa anak-anak memang tidak peduli pada kebersihan. Mereka akan menjatuhkan remah-remah makanan ke lantai pula. Ketika aku menjadi ayah rumah tangga, aku sering menyapu sampai ke bawah meja dan tak ada 10 menit, rumah kami kotor lagi.

Saat mereka mau tidur, aku akan menyingkirkan mainan anak-anak. Namun, bahkan sebelum aku bangun tidur di pagi hari, mainan anak-anak sudah berserakan lagi.

Aku tak ingin membicarakan anak-anak kalian. Anak-anakku sendiri adalah para pengacau rumah yang luar biasa.

Setelah bertengkar dengan istri tentang betapa berantakannya rumah kami, aku mulai menyadari kesalahanku..

Yang akhirnya aku pahami adalah, mengerjakan pekerjaan rumah adalah sebuah pekerjaan penuh waktu yang tak ada habisnya. Istriku adalah pembantu rumah tangga, manager, guru, perawat, sopir, penghibur, koki mahasiswa paruh waktu, relawan sekolah, penjaga lingkungan, dan banyak lagi.

Beberapa tahun yang lalu, aku dan Mel, istriku, bertengkar soal betapa berantakannya rumah kami. Bagiku rumah berantakan itu sangat memalukan, terutama kalau dilihat orang lain. Aku menyudutkannya dengan pertanyaan apa yang sudah ia lakukan sepanjang hari, “Membersihkan rumah itu bukanlah pekerjaan yang susah-susah amat kok,” kataku.

Kami jadi bertengkat hebat. Mel berkata padaku bahwa aku perlu menyadari apa yang harus ia hadapi setiap harinya. Kemudian dia mengatakan sesuatu yang menghantam jiwaku.

Dia berkata, “Kadang-kadang aku harus memilih antara membersihkan rumah atau mengajak Tristan dan Norah ke taman. Kadang pilihannya adalah menghabiskan waktu bersenang-senang dengan mereka, mengajar mereka membaca atau menulis.”

“Kadang-kadang aku harus memilih, harus mencuci piring atau mengajar anak kita caranya naik sepeda atau mengajarkan putri kita caranya berjalan. Terus terang, aku lebih suka melakukan hal-hal itu. Aku juga lebih suka menjadi ibu yang tak mengabaikan anak-anak daripada sibuk mengkhawatirkan apa yang tetangga bilang tentang betapa berantakannya rumah kita.”

Sejak itu, aku berhenti untuk memandangi piring kotor di rumah kami sambil berpikir bahwa Mel hanya malas-malasan sepanjang hari. Sebaliknya, aku mulai mencuci piring.

Aku berhenti berasumsi bahwa piring kotor yang menumpuk adalah bukti bahwa Mel hanya bermalas-malasan sepanjang hari. Sebaliknya, aku mulai ikut mencuci piring. Aku mulai menyadari bahwa berantakannya rumah kami bukanlah kekacauannya. Tapi kekacauan kami. Aku mulai memahami segalanya.

Aku berhenti mengkhawatirkan tentang keadaan rumah, dan mulai memperhatikan perkembangan anak-anak kami. Aku mulai memperhatikan betapa bahagianya mereka, dan ikatan mereka dengan ibunya. Rumah kami memang berantakan, Namun kami benar-benar bahagia. Anak-anak pun tumbuh dengan ceria.

Aku tidak mengatakan bahwa jika Anda memiliki rumah yang bersih, maka Anda pasti melakukan sesuatu yang salah. Tapi apa yang ingin aku katakan adalah aku tidak akan menghakimi istriku lagi karena mengajarkan anak-anakku untuk berenang, daripada membersihkan ruang tamu.

Aku tidak akan menghakimi dia karena mengajarkan anakku latihan menggunakan toilet daripada membersihkan meja. Aku pikir Anda juga tak boleh meremehkan ibu rumah tangga yang punya rumah berantakan, karena kemungkinan mereka juga telah menggunakan waktu yang ada dengan bijaksana.

Sumber: theasianparent.com

Tentang Penulis:

Luna
Penulis tetap di media Lambeturah sejak 2018. Sudah banyak menulis artikel tapi topik yang paling disenangi adalah gosip dan keuangan.
Komentar Anda
Berita terkait
Loading next page... Press any key or tap to cancel.