Pengertian Hibah, Rukun, Syarat dan Aturan Hibah Menurut Hukum Positif

Apakah kamu pernah memberi atau menerima hibah? Walaupun terdengar sudah sangat umum, namun masih banyak penafsiran yang kurang tepat mengenai hibah ini.

Nah, agar menghindari kesalahan pengertian mengenai hibah, yuk belajar bersama!

Pengertian Hibah

Sebelum masuk lebih detail mengenai hibah, mari kita mulai dengan mendudukkan pengertian hibah. Dimana apabila ditelusuri secara mendalam, istilah hibah itu berkonotasi memberikan hak milik oleh seseorang kepada orang lain.

Pemberian dalam hal ini hadir tanpa mengharapkan imbalan dan jasa. Menghibahkan ini tidak sama artinya dengan menjual atau menyewakan ya.

Maka balas jasa dan ganti rugi tidak berlaku dalam transaksi hibah. Demi menghindari kesalah pahaman inilah dikemukakan definisi atau pengertian hibah dalam pandangan ulama.

Secara harafiah, kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba digunakan dalam al-Quran beserta kata derivatifnya sebanyak 25 kali dalam 13 surat.

Wahaba sendiri berarti memberi yang mana jika subyeknya Allah berati memberi karunia atau menganugerahi (QS. Ali Imran ayat 8 dan Maryam, ayat 5, 49, 50 & 53).

Menurut Kamus Populer Internasional

Kamus populer internasional mendefinisikan hibah secara lebih universal, yakni pemberian sedekah atau pemindahan hak.

Menurut Ensikloedia Hukum Islam

Jika membuka Ensiklopedi Hukum Islam, kita akan menemukan arti hibah sebagai pemberian yang dilakukan secara sukarela. Hal ini dilakukan dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa mengharapkan balasan apapun.

Maka bisa dilihat bahwa prinsip hibah berbeda dengan warisan. Sebab hibah merupakan pemberian yang tidak memandang hubungan pernikahan ataupun pertalian darah.

Rukun dan Syarat Hibah

Sama seperti kegiatan lainnya, tentu hibah memiliki rukun dan syarat. Dimana kedua hal ini harus dipenuhi sebelum dan dalam pelaksanaan kegiatannya. Adapun rukun dan syarat hibah adalah sebagai berikut:

1). Harus adanya kehadiran pemberi Hibah.

2). Harus adanya kehadiran penerima Hibah.

3). Barang yang dihibahkan harus lah jelas kehalalannya.

4). Adanya akad hibah, yang merupakan tindakan serah terima barang hibah antara pemberi dan penerima secara ikhlas.

Selanjutnya yang menjadi catatan penting bahwa hibah yang telah diberikan tidak lah boleh ditarik kembali. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW yang bunyi dan artinya berbunyi sebagai berikut:

 العائِدُ في هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُوْدُ فِي قَيْئِهِ

Artinya: “Orang yang menarik kembali hibahnya seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya” [HR. Al-Bukhâri]

Larangan menarik kembali hibah dalam hadits ini menunjukkan secara tegas dan lugas bahwa hibah harus disyari’atkan. Berangkat dari hadist tersebut dapat disimpulkan bahwa:

  • Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan oleh penghibah. Dalam waktu ketika hidupnya untuk memberikan suatu barang dengan cuma-cuma kepada penerima hibah.
  • Hibah harus dilakukan antara kedua orang atau pihak yang masih hidup.

Aturan Hibah Menurut Hukum Positif

Jika melihat kehiatan hibah dalam hukum Indonesia yang dapat dipermasalahkan, jika bentuk pemberian berupa uang. Dengan jumlah yang banyak atau barang yang sangat bernilai.

Sebab itulah hibah harus disertai dengan bukti – bukti ketetapan hukum yang berlaku secara perdata. Hal ini dilakukan agar tidak digugat oleh pihak ketiga. Termasuk lah oleh orang-orang yang termasuk ahli waris di kemudian hari.

Dalam hukum perdata pasal 166 dan pasal 1667 juga sudah dijelaskan bahwa hibah atau pemberian kepada orang lain secara sukarela tidak dapat ditarik kembali. Penarikan yang dimaksud baik berupa harta bergerak maupun harta tidak bergerak saat pemberi hibah masih hidup.

Ketentuan Hibah Menurut Hukum Indonesia:

1). Hibah yang berupa tanah dan bangunan, harus disertai dengan akta dari pejabat pembuat akta tanah yang berupa akta hibah.

2). Hibah tanah tidak dikenai PPh, apabila diberikan dari orang tua kepada anak dalam hubungan kandung.

3). Hibah tanah dikenai PPh sebesar 2,5%, dalam harga tanah berdasarkan nilai pasar.

4). Hibah berupa harta ataupun barang bergerak haruslah dilakukan dengan akta notaris.

5). Hibah diberikan saat pemberi hibah masih dalam keadaan hidup.

6). Hibah yang diberikan saat pemberi sudah meninggal dunia tidak lagi disebut hibah, melainkan wasiat. Wasiat sendiri dapat dibuktikan dengan surat yang diakui secara perdata.

7). Hibah harus diberikan pada penerima yang sudah ada atau sudah lahir. Tidak bisa diberikan kepada penerima yang belum lahir.

8). Pemberian hibah sudah bersifat final, artinya tidak bisa ditarik kembali.

Demikian artikel kami mengenai hibah yang mengulas mulai dari pengertian menurut ahli, hingga ketentuan hibah menurut hukum indonesia.

Semoga ulasan kami membantu kamu dalam penelitian, khususnya menambah wawasan mengenai hibah! Terimakasih sudah singgah.

Tentang Penulis:

Luna
Penulis tetap di media Lambeturah sejak 2018. Sudah banyak menulis artikel tapi topik yang paling disenangi adalah gosip dan keuangan.
Komentar Anda
Berita terkait
Loading next page... Press any key or tap to cancel.